Sabtu, 08 Januari 2011

Profil Mahasiswa Berprestasi: Ary Adiati

Ary Adiati adalah mahasiswa semester sembilan (9) jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro Semarang. Gadis manis berkerudung alumni SMAN 3 Semarang tersebut memenangkan ajang pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Periode 2009 di Tingkat Universitas. Dalam seleksi tersebut, ada 4 kriteria utama yang harus dipenuhi, yakni penulisan paper, kepribadian, intra dan ekstrakulikuler serta kemampuan berbahasa inggris.


Selain terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi, Ary juga menjadi salah satu delegasi Undip untuk mengikuti Harvard National Model United Nation (HNMUN) di Boston, USA. Acara ini diadakan tanggal 11-14 Februari 2010 kemarin dan merupakan acara pertama yang diselenggarakan International Office Undip, yang beranggotakan staff bidang 4 rektorat dan mahasiswa dari berbagai fakultas.


Untuk menjadi delegasi Undip dalam acara ini pun, Ary harus melewati proses seleksi yang cukup ketat karena tim seleksinya terdiri dari dosen- dosen berkompeten dan beberapa staff bidang IV. Seleksi dilakukan dengan pengumpulan CV dan wawancara. Ary juga menceritakan bahwa di Boston, ia beserta 14 orang delegasi lainnya mengikuti suatu simulasi sidang PBB. Mereka dibagi ke dalam beberapa komite dan di dalam komite tersebut mereka berdebat, berdiskusi dan mencari solusi dari berbagai isu internasional bersama dengan delegasi- delegasi lain dari seluruh dunia.


Bagi Ary, menghadiri MUN untuk pertama kalinya merupakan pengalaman yang sangat berharga. Di sana ia dapat mengenal dan berdiskusi dengan orang dari seluruh dunia. Dengan begitu ia dapat memahami perbedaan pengalaman dan antusiasme yang mengakibatkan ada beberapa orang yang hanya bisa duduk diam dalam konferensi, namun ada pula yang sangat berkontribusi dalam tercapainya resolusi. Ary juga memahami benar bahwa kemampuan bernegosiasi sangat penting dalam melakukan hubungan diplomasi atau hubungan apapun, terutama yang bersifat kerjasama dan ini memicunya untuk terus meningkatkan kualitas diri hingga dapat setara dengan mereka yang benar- benar mahir dalam melakukan bargaining/negosiasi.


Mahasiswi yang juga pernah menjuarai Essay Competition yang diselenggarakan oleh Indonesia International WorkCamp (IIWC) dan aktif dalam Undip Debating Forum (suatu komunitas debat bahasa inggris di universitas) ini, juga berbagi tips untuk pelajar- pelajar lain di Indonesia agar jangan pernah takut untuk menunjukkan kemampuan diri sendiri dan tetap melakukan yang terbaik, baik di lingkungan fakultas, universitas, nasional, bahkan internasional.

Oleh: Santika

Komunikasi Antar Pribadi

1). Indikator Kualitas Komunikasi Antar Pribadi:
A. Keterbukaan (openness): kualitas ini mengacu pada kurang lebih 3 aspek dari komunikasi antar pribadi.
a). Komunikator antar pribadi yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajak berinteraksi. Berarti harus arus ada kesediaan untuk membuka diri.
b). Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang
c). Kepemilikkan perasaan dan pikiran, yakni mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang kita lontarkan adalah benar “milik” kita dan kita bertanggungjawab atasnya.
B. Empati, yaitu kemampuan seseorang untuk merasakkan apa yang sedang dirasakkan orang lain dalam suatu keadaan tertentu, dari sudut pandang yang sama dan melalui kaca mata yang sama dengan orang lain tersebut.
C. Sikap mendukung, dapat diperlihatkan antara lain dengan bersikap:
a). Deskriptif dan bukan evaluatif: bila kita memepersepsikan komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu, kita umumnya tidak akan merasakan itu sebagai ancaman. Sebaliknya, komunikasi yang bernada menilai seringkali membuat kita bersikap defensif.
b). Spontanitas dan bukan strategik: gaya spontan membantu menciptakan suasana mendukung, sebaliknya bila kita merasa seseorang menyembunyikkan perasaannya kita akan beranggapan bahwa ia memiliki strategi tersembunyi dan kita akan bereaksi secara defensif
c). Provisionalisme dan bukan sangat yakin: yakni bersikap tentatif dan berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan.
d).sikap positif: yakni dengan menyatakan sikap positif dan mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi secara positif
C. Kesetaraan (equality): disini harus ada pengakuan secara diam- diam bahwa kedua pihak yang berinteraksi sama- sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing- masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.



2). Relevasnsi antara kepercayaan dengan kualitas komunikasi antar pribadi:
Kepercayaan (trust) menjadi faktor yang sangat penting dalam pengembangan kualitas komunikasi antar pribadi. Hal ini dikarenakan KAP berkembang melalui berbagai tahapan, mulai dari tahapan awal seperti proses pengungkapan diri (self-disclosure), tahapan membuat keputusan untuk melanjutkan atau tidaknya komunikasi tersebut, sampai kepada tahapan paling intim dimana masing- masing pihak sudah tidak ragu lagi untuk melakukan pembukaan diri secara lebih mendalam, yakni dengan membuka batas zona pribadinya dan diungkapkan kepada orang lain. Semua tahapan itu memerlukan suatu kepercayaan dari masing- masing pihak yang terlibat dalam komunikasi. Semakin intim tahapan yang telah dicapai, maka dapat dipastikan bahwa nilai kepercayaan yang terkandung di dalamnya juga semakin besar dan kualitas komunikasi antar pribadi juga semakin tinggi.


3). Karakteristik perilaku suportif yang khas dalam relasi pernikahan beda bangsa beda budaya:
- saling beradaptasi: pasangan beda bangsa dan beda budaya harus berupaya lebih keras untuk saling beradaptasi dengan baik agar komunikasi mereka dapat berjalan efektif
- kesediaan untuk saling memahami dan menerima perbedaan: pasangan beda bangsa beda budaya harus memberikan kesediaan untuk saling memahami berbagai perbedaan diantara mereka yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman akibat banyaknya perbedaan nilai- nilai budaya.
- kesetaraan: pasangan beda bangsa tersebut harus menciptakan kesetaraan di antara mereka berdua agar tidak ada pihak yang merasa nilai- nilai kebudayaannya yang paling benar sementara yang lainnya tidak sesuai.
-provisionalisme: pasangan beda bangsa ini harus tetap berpikiran terbuka terhadap segala perbedaan yang ada diantara keduanya. Sikap provisional ini berarti siap mengubah pendapat pribadi bila memang hal tersebut perlu dilakukan, sehingga kesetaraan mudah dicapai untuk memdukung penciptaan suasana yang suportif.


4). Indikasi kontekstual dalam komunikasi antar pribadi:
Indikasi kontekstual di sini termasuk di dalamnya konteks fisik/ ruang, waktu, sosial dan psikologis.
Contohnya:
- ruang: tertawa terbahak- bahak atau memakai pakaian dengan warna menyala seperti merah, sebagai perilaku nonverbal yang wajar dalam suatu pesta, namun menjadi kurang beretika bila hal tersebut ditampakkan dalam acara pemakaman.
-waktu: dering telepon di tengah malam atau dini hari akan dipersepsikan lain bila dibandingkan dengan dering telepon pada siang hari.
-sosial: pada hari lebaran, keluarga yang sehari- harinya dingin kepada tetangga boleh jadi akan bersikap tersenyum dan ramah, serta membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar dan mempersilakan para tamunya untuk mencicipi aneka kue dan hidangan yang tersedia
- psikologis: keluhan seorang istri terhadap naiknya harga kebutuhan pokok dan kurangnya uang belanja kepada suaminya mungkin akan ditanggapi berang apabila sang suami dalam keadaan lelah sehabis pulang kerja.


5). Kekuatan haptic dalam pengembangan hubungan pacaran:
Dalam konteks romantic relationship, haptic atau sentuhan dalam berkomunikasi dapat menyampaikan pesan tertentu pada lawan komunikasi, yang dalam hal ini adalah kekasih atau pacar kita. Sentuhan di sini dapat berfungsi sebagai afeksi positif dimana dapat menkomunikasikan emosi positif secara nonverbal. Sentuhan merupakan sistem isyarat yang ampuh dan erat kaitannya dengan perasaan emosional diantara dua individu yang saling berkomunikasi. Semakin intim tahap hubungan, makan sentuhan juga akan ikut berkembang. Dalam relasi pacaran, sentuhan- sentuhan tersebut dapat dilakukan dengan berpegangan tangan, membelai, merangkul, mencium kening, dan sebagainya yang dapat mengisyaratkan perasaan sayang, perhatian dan rasa ingin melindungi terhadap pasangannya.


6). Indikator utama (elemen) teori kebutuhan etnografi:
Teori kebutuhan etnografi menunjukkan bahwa kekuatan- kekuatan dasar yang menentukkan perilaku manusia yaitu untuk merasa aman, untuk melindungi orang yang hidup (teritorialitas), mencari kesenangan, dan menjamin kelangsungan hidup spesies.

Para Profesional di Bidang Komunikasi Tidak Boleh Menjalankan Penipuan kepada Publik

Seiring dengan perkembangan media massa yang semakin pesat, persaingan antar perusahaan media massa pun menjadi semakin ketat. Saat ini, seluruh perusahaan media massa, baik cetak maupun elektronik, berlomba- lomba dalam menyajikan informasi kepada masyarakat. Memang, media memiliki idealisme utama, yaitu memberikan informasi yang benar sebagai suatu sarana edukasi agar masyarakat yang mengkonsumsi beragam informasi dari media tersebut dapat bersikap lebih kritis, mandiri dan memiliki kedalaman berpikir. Namun, realitanya adalah bahwa persaingan perusahaan media massa amat dipengaruhi oleh kepentingan komersial dan logika pasar sehingga berdampak pada pesan yang disampaikan dalam informasi tersebut. Apalagi, banyak pimpinan media yang berasal dari kalangan pengusaha. Hal ini tentu saja menjadikan media benar- benar berada di bawah tekanan persaingan ekonomi yang keras dan menuntut media itu sendiri untuk dapat memberikan informasi teraktual sebelum didahului oleh media lain. Kenyataan ini juga menimbulkan anggapan bahwa informasi yang baik adalah bila didapatkan secara langsung, baik peliputan langsung, siaran langsung, reportase langsung dari tempat kejadian, dan informasi langsung dari sumber pertama.

Tekanan yang dialami media untuk dapat memberikan informasi secara aktual, cepat dan ringkas tersebut kerap menyesatkan media itu sendiri. Saat ini, media tercekoki oleh budaya “latah”, terutama mengenai isi dari pemberitaan yang disajikan. Masyarakat sering dibuat jenuh oleh isi berita yang sama dan serentak di hampir semua media massa. Sebuah topik berita pada suatu periode bisa menjadi “primadona” yang tak henti- hentinya diberitakan oleh hampir semua media massa. Lalu tiba- tiba menghilang begitu saja tergantikan oleh topik berita lain. Ada berita yang dianggap penting dan kurang penting. Ketika satu atau dua media yang menjadi “leader” menganggap berita x itu penting, maka media lain seolah- olah latah atau ikut- ikutan dalam hal penyajian berita penting. Hal ini sekali lagi, tidak terlepas dari tuntutan komersial perusahaan media itu sendiri sehingga semuanya berlomba- lomba untuk menaikkan rating (bagi perusahaan media elektronik) dan oplah penjualan (bagi perusahaan media cetak). Contohnya, pada pertengahan tahun 2009 lalu, berita mengenai Prita Mulyasari dijadikan Top News oleh hampir semua media, baik cetak maupun elektronik. Hampir sepanjang Bulan Mei dan Juni, berita mengenai Prita Vs Rumah Sakit OMNI disajikan secara berkesinambungan dan makin mendalam oleh hampir semua media. Namun tiba- tiba saja memasuki awal Bulan Juli berita mengenai Prita meredup dan digantikan oleh berita Pemilihan Presiden dan Wakilnya, baik kampanye pra- pemilu, proses pemungutan suara, sampai pada hasil penghitungan suara dan segala permasalahan yang terjadi pasca pemilu.

Etika Para Profesional di Bidang Komunikasi

Etika selalu dihubungkan dengan moralitas. Etika dapat dijelaskan dalam tiga pengertian, antara lain: 1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) ; 2). Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak ; 3). Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat ( tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru, Depdikbud, 1988). Sementara itu, moralitas diartikan sebagai sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Pengertian harfiah dari etika dan moralitas yakni sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diwariskan dalam suatu adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang tetap sebagai suatu kebiasaan. Jadi, bila dikaitkan dengan etika profesi, tentu saja di sini akan ditekankan pada bagaimana suatu profesi dijalankan dengan berpedoman pada nilai- nilai yang dianggap baik atau buruk. Untuk profesi sendiri sampai saat ini belum ada pengertian khusus karena tidak ada standar yang menyebutkan pekerjaan apa saja yang layak disebut sebagai profesi. Namun, secara tradisional, ada empat pekerjaan yang telah lama dikenal sebagai profesi, antara lain dokter, pengacara, pendidik dan pendeta/ pemuka agama.

Terkait dengan etika, ada tiga macam teori yang mendasari, antara lain etika deontologi, etika teleologi, dan etika keutamaan. Etika yang pertama, yaitu deontologi , menekankan bahwa “kewajiban” adalah dasar dari baik atau buruknya suatu perbuatan. Jadi hanya ada dua hal di sini, yaitu hal yang diwajibkan dan hal yang dilarang. Pendekatan deontologi ini sendiri sudah diterima dalam konteks agama.

Dalam hal profesi, deontologi digunakan untuk menjelaskan keseluruhan aturan dan prinsip yang mengatur pelaksanaan profesi, biasanya disusun oleh ikatan profesi tertentu. Profesi komunikasi sendiri memiliki deontologi jurnalisme dengan tiga prinsip utama (B. Libois, 1994: 6-7), antara lain 1). Hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana- sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Termasuk di dalamnya perlindungan atas sumber berita; pemberian informasi yang benar dan tepat, jujur dan lengkap; pembedaan antara fakta dan komentar, informasi dan opini. 2). Hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara, termasuk hak konsumen untuk berekspresi dalam media, jaminan hak akan privacy, praduga tak bersalah, hak akan citra yang baik, hak bersuara, serta hak jawab. 3). Ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat, yakni melarang segala bentuk provokasi dan dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil.

Namun amat disayangkan, masyarakat kerap menyaksikan bagaimana deontologi jurnalisme ini tidak sesuai dengan realita di lapangan. Tayangan infotainment contohnya. Memasuki tahun 2000, program acara jenis ini makin tumbuh pesat. Pelopornya adalah acara cek dan ricek di RCTI. Lalu karena acara ini mulai menarik perhatian penonton dan berhasil memperoleh rating yang cukup tinggi, stasiun televisi swasta lain -sekali lagi- dihinggapi oleh budaya latah media sehingga saat ini hampir seluruh stasiun televisi swasta memiliki program acara infotainment macam ini. Padahal, jelas sekali bahwa konsep yang dijalankan oleh program infotainment bertentangan dengan prinsip deontologi jurnalisme tentang hak akan privacy. Program infontainment menjadikan selebritis sebagai sosok individu yang privacy kehidupannya seolah-olah “boleh” dijadikan konsumsi umum. Selain itu, informasi yang diberikan dalam program- program acara infotainment biasanya hanya didasarkan pada opini bahkan kabar burung yang sengaja dibuat- buat oleh aktor komunikasi (dalam hal ini wartawan) untuk kemudian nantinya akan diklarifikasikan pada selebritis tersebut sehingga berita- berita yang disajikan infotainment mengenai kehidupan pribadi para selebritis tersebut belum tentu merupakan informasi yang benar, tepat dan jujur. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip deontologi jurnalisme yang pertama. Selain itu, infotainment memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan pembohongan publik melalui penyajian berita- berita yang belum dapat dipastikan kebenarannya.

Etika yang kedua adalah teleologi. Menurut etika ini, baik atau buruknya suatu perbuatan diukur berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan atas tindakan tersebut. Salah satu aliran dalam etika ini adalah utilitarisme. Menurut pandangan ini, suatu perbuatan dikatakan baik apabila membawa manfaat, tetapi manfaat tersebut harus menyangkut orang banyak atau masyarakat keseluruhan dan bukan hanya satu atau dua orang saja. Salah satu kekuatan utilitarisme adalah bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip kegunaan yang jelas dan rasional. Prinsip ini juga dijadikan pemerintah sebagai pegangan atau pedoman yang jelas untuk membentuk kebijakan dalam mengatur masyarakat. Terkait dengan media massa, salah yang dapat dihubungkan dengan pandangan utilitarisme ini adalah pemberitaan tentang kandungan melamin pada beberapa susu formula untuk bayi yang dijual di pasaran. Pemberitaan ini tentu saja memberikan dampak yang cukup berarti dalam masyarakat. Para kaum ibu yang memiliki batita kontan kaget dan menjadi sangat khawatir terhadap susu yang dikonsumsi bayi mereka. Namun pemberitaan ini tentu saja dimaksudkan untuk memberikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat agar lebih berhati- hati dalam memilih produk susu formula untuk anak- anak mereka. Dampak paling buruk tentu saja dirasakan oleh perusahaan- perusahan produsen susu yang produknya diindikasi berbahaya sehingga mereka mengalamii kerugian serius akibat anjloknya minat beli masyarakat.

Yang ketiga adalah etika keutamaan. Keutamaan di sini dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk disposisi (kecenderungan tetap) mengenai watak yang dimiliki seseorang dan memungkinkan ia untuk bertingkah laku baik secara moral. Keutamaan memiliki kaitan erat dengan kehendak dan selalu merupakan suatu ciri individual. Orang yang memiliki keutamaan itu sendiri dapat dikatakan baik. Namun apabila ia sengaja berbuat jahat pada orang lain, maka keutamaan yang ada dalam dirinya menjadi hilang. Contoh pemberitaan yang memiliki kaitan dengan etika keutamaan ini adalah pemberitaan mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru spiritual terkenal, Anand Krishna, terhadap muridnya sendiri. Selama ini sebagian masyarakat masyarakat menganggap Anand Krishna sebagai sosok yang baik dan religius. Namun, kemudian terungkap satu persatu bahwa ia bukan saja melakukan pelecehan seksual terhadap para murid wanitanya, melainkan juga melakukan pelecehan terhadap agama karena dalam ajarannya yang bernama sinkretisme dimana semua ajaran agama ia campur aduk menjadi satu. Pemberitaan tersebut jelas membuat citra Anand Krishna di mata masyarakat menjadi buruk sehingga keutamaan yang dulu masyarakat anggap ada pada dirinya kini hilang secara tiba-tiba.

Pembohongan Publik yang Dilakukan oleh Media

Beberapa waktu lalu, masyarakat seakan dibuat tidak percaya oleh pemberitaan adanya makelar kasus (markus) palsu yang dihadirkan oleh Tvone sebagai narasumber dalam salah satu acara di stasiun tv tersebut yakni “Apa Kabar Indonesia Pagi”. Pria bernama Andri Ronaldi alias Andis tersebut dalam acara tersebut menyebutkan bahwa ia mengetahui adanya markus- markus lain di tubuh POLRI. Ia juga menyinggung soal adanya sebuah ruangan khusus di kantor Kepolisian RI yang digunakan sebagai tempat untuk menegosiasikan mafia kasus dan membagi- bagikan uang suap dari para mafia tersebut.

Akibat pengakuannya itu, Andis sempat menjadi buron sampai akhirnya tertangkap. Menurut pengakuannya kepada pihak kepolisian, pada malam sebelum wawancara tersebut dilakukan, ia menerima telepon dari salah seorang presenter Tvone, Indy Rachmawati, yang memintanya untuk menjadi narasumber dengan topik PJTKI ( Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Namun, ternyata keesokan paginya ketika ia sampai di lokasi acara, ia oleh Indy diinstruksikan untuk berperan sebagai makelar kasus (markus) yang akan diwawancara oleh pihak Tvone. Ia juga mengaku sebelumnya sudah diberikan rundown dan materi tanya jawab yang berisikan semua hal yang menyangkut kapasitasnya sebagai seorang narasumber markus sehingga sesi tanya jawab tersebut ia jalankan dengan lancar. Atas kerjanya tersebut, Andis juga mengaku menerima imbalan sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah dari pihak Tvone. Saat ini kasus tersebut masih diselidiki oleh pihak berwajib karena apabila ternyata pengakuan Andis terbukti, berarti Tvone telah melakukan sebuah pembohongan publik yang fatal dan Indy Rachmawati secara jelas telah melanggar kode etik profesinya sebagai seorang presenter/ pembawa berita.

Tvone sebagai sebuah stasiun televisi yang tergolong masih baru memang memiliki ambisi untuk menjadi stasiun televisi nasional terdepan dan nomor satu dalam pemberitaan, menyaingi Metrotv yang telah unggul lebih dulu. Namun amat disayangkan, Tvone seringkali tidak hati- hati dalam melakukan pencarian dan penyajian berita. Setelah Andis tertangkap dan memberikan keterangannya kepada pihak kepolisian, pihak Tvone malah menuntut balik Andis atas tuduhan memberikan keterangan palsu yang mencemarkan citra baik Tvone. Padahal, kalau mau ditela’ah lebih jauh, Andis di sini “terpaksa” memberikan keterangan tersebut (yang sampai saat ini masih diselidiki kebenarannya) karena ia tidak mendapat perlindungan identitas sebagai narasumber. Bahkan yang lebih ironis lagi, Tvone malah menjadi tidak yakin apakah Andis memang markus sebenarnya, sehingga Tvone menuntut narasumbernya sendiri.

Tentu saja, terlepas dari siapa yang telah melakukan kebohongan, Tvone telah melakukan kesalahan yang cukup fatal dalam hal pemberian informasi palsu kepada masyarakat. Bila mengikuti kaidah jurnalistik yang benar, sebuah berita harusnya didasarkan atas fakta, berimbang, netral, tidak boleh memfitnah apalagi menghasut. Sekalipun misalnya di sini Andis lah yang berbohong karena mengaku sebagai markus, Tvone tetap bersalah karena sudah seharusnya mereka melakukan kroscek terlebih dahulu sebelum mendatangkan narasumber atau menayangkan suatu berita. Namun, bila terbukti pihak Tvone lah yang menyutradarai markus palsu tersebut, pantaslah bila Dewan Pers memberikan sanksi yang tegas terhadap pihak Tvone karena pembohongan publik di sini akan berdampak makin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas media di Indonesia. Dari kasus Tvone di atas dapatlah disimpulkan bahwa saat ini media benar- benar berada di bawah tekanan pasar sehingga demi mengejar rating dan memperoleh keuntungan yang besar, sebuah media yang seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar malah melanggar semua etika profesi komunikasi dengan melakukan pembodohan dan pembohongan publik yang sungguh tidak pantas.

Program Talk Show "Rossy" di Global Tv

“Rossy” merupakan salah satu program baru di Global Tv yang bergenre Talk show, dipandu oleh presenter handal Rosiana Silalahi. Acara ini diberi nama “Rossy” sesuai dengan nama sapaan Rosiana dalam kesehariannya sehingga konsep acaranya pun menonjolkan kedekatan dan keakraban antara Rosiana Silalahi, baik dengan bintang tamu di studio maupun pemirsa di rumah. Imagenya sebagai pembaca berita di stasiun televisi terdahulu yang terkesan serius, tajam, kritis, “galak” dan kerap membawakan berita- berita berat seperti politik seperti ingin ia ubah sedikit. Dalam acara ini, Rosiana tampil agak santai, baik dalam gaya pembawaan acara maupun dalam gaya berbusana.

Konsep acara ini sepertinya mengadopsi acara Talkshow sejenis yang populer di mancanegara, seperti Oprah Winfrey Show. Tema- tema yang dihadirkan tiap episodenya pun beragam, disesuaikan dengan para bintang tamu yang diundang ke studio. Pada episode perdananya, “Rossy” menghadirkan bintang tamu Sri Mulyani yang kala itu sedang berada di akhir masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan dan berbagai kasus yang membelitnya. Atau pernah juga Rossy mengundang Andi Malarangeng dan Irfan Bachdim ketika episode naturalisasi pemain sepakbola nasional, Juru bicara kepresidenan beserta anggota- anggota DPR dalam episode sengketa Malaysia- Indonesia, Komunitas pengidap penyakit kanker, para sineas beserta pemain film “Sang Pencerah”, para tokoh masyarakat, agama dan presenter infotainment dalam episode kontroversi infotainment, sampai dengan orangtua dari artis- artis yang terbelit masalah. Dalam acara ini, Rosiana dengan gayanya yang sejak dulu terkesan “blak- blakan” berusaha menghibur dan menginspirasi namun tidak menggurui. Prinsip Cover both Side juga menjadi acuan utama dalam acara ini dalam mewawancarai beberapa bintang tamu yang dihadirkan dalam tiap episodenya. Selain itu, tantangan selanjutnya adalah Rosiana harus mampu mengarahkan bintang tamu yang menjadi narasumbernya untuk dapat mengekplorasi emosi dalam jawaban- jawaban atas pertanyaan yang ia berikan.

Walaupun format acaranya hampir mirip seperti acara- acara Talkshow yang telah dulu hadir di layar kaca pemirsa Indonesia, seperti Kick Andy dan Just Alvin di Metro Tv dan Satu Jam Lebih Dekat di Tv one, namun “Rossy” hadir dengan nuansa baru yang berbeda. Selain karena dibawakan oleh seorang Host wanita yang familiar di kalangan masyarakat Indonesia sebagai pembawa berita profesional dengan tema- tema serius, Rosiana dapat tampil berubah menjadi demikian sentimentil, salah satunya adalah ketika episode yang menghadirkan artis cantik Sheila Marcia dan ibunya. Rosiana tak segan untuk merangkul sang ibu yang kala itu menangis haru. Dari acara Talk show semacam ini, selain menambah wawasan baru akan realita di sekitar kita, pemirsa di layar kaca dapat mengambil perspektif yang berbeda tentang sosok bintang tamu yang ditampilkan dan mengenal secara secara lebih mendalam

Media Massa: Antara Idealisme dan Bisnis

Saat ini, berita telah menjadi sebuah kebutuhan pokok dalam kehidupan umat manusia. Masyarakat yang haus akan informasi selalu berusaha memenuhi kebutuhannya tersebut, terutama melalui media massa. Media massa sendiri memiliki beberapa macam fungsi, yakni sebagai sarana informasi, edukasi, hiburan serta kontrol sosial. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, media dan pers yang pada masa orde baru mengalami tekanan luar biasa dari pemerintah, kini dapat dengan leluasa bergerak. Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 menciptakan kebebasan pers baru di Indonesia. Koridor kebebasan media terbuka dengan keluarnya SK Menpen No.132/ 1998 tentang ketentuan mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Implikasi dari kemudahan mendapatkan SIUPP dan kebebasan media ini adalah semakin bertumbuhnya industri media massa, baik cetak maupun elektronik.

Namun, menjamurnya industri media tidak terlepas dari prinsip pasar. Persaingan bebas seakan memaksa media massa untuk memunculkan kreativitasnya dalam rangka menarik dan mendapatkan minat dari masyarakat. Akibatnya, media massa terikat arus komersialisasi besar- besaran sehingga apapun dilakukan untuk mendapatkan profit/ keuntungan. Lebih jauh lagi, media massa pun berusaha untuk menempatkan jaringan produksi dan distribusi produk- produk budaya seperti berita, iklan, sinetron, film, kuis, dan sebagainya untuk terintegrasi langsung dalam prinsip pasar (market). Oleh karena itu mudah ditebak, sebagai “industri budaya”, apapun yang dilakukan selalu berada pada titik harapan akan terciptanya peningkatan oplah, hits dan rating.
Sebagai sebuah industri bisnis dalam pasar (market), media telah men-subordinasikan kepentingan publik di bawah kepentingan komersial. Media seakan terjebak dalam keinginan untuk merespon selera massal. J.H. Altschull menyatakan bahwa model pasar terkait dengan masalah keyakinan bermedia antara lain media seharusnya bebas dari campur tangan pihak luar, media melayani hak publik untuk memperoleh informasi, belajar dan menyajikan kebenaran, serta memberikan laporan secara adil dan objektif.

Persoalan utama yang timbul saat ini adalah ketika konsentrasi kepemilikan modal dalam industri media kiansaat menguat, media dan jurnalisme di dalamnya pun terancam untuk menjadi sekedar bisnis dan barang dagangan. Rupert Murdoch meneliti bagaimana bisnis media yang mengglobal kian menyudutkan jurnalisme sebagai produk dagangan. Di Indonesia, fenomena serupa bisa ditemui dalam kelompok Kompas, Jawa pos, Media Indonesia, Para Group, dan lain- lain. Dalam hubungan media dan politik, media harus cukup independen agar fungsinya sebagai anjing penjaga (watchdog) dapat dijalankan dengan baik dan demokrasi tidak akan berjalan timpang.

Penguasa industri media di Indonesia saat ini adalah kekuatan pasar, ‘invisible hand’ yang tak kelihatan. Ia juga bisa kejam dan tak berperasaan. Ujung-ujungnya, pasar juga menerapkan sebuah aturan main yang sangat lugas dan sederhana : survival of the fittest. Lalu muncullah sebuah ironi media berkaitan dengan survival media.

Media agar bisa independen tentu harus bisa menghidupi diri sendiri. Media jelas tidak bisa menerima dana publik kalau mau benar- benar independen. Bagaimana pun juga, mekanisme pemberian dana publik adalah bagian dari proses politik yang justru harus dikontrol oleh media. Proses budgeting di Departemen Keuangan dan parlemen adalah bagian terpenting dari mekanisme pemerintahan yang justru harus menjadi fokus kontrol media. Kalau media terlibat di sini, sudah pasti ia akan mengorbankan independensinya dan tak bisa lagi ia menjadi mekanisme kontrol untuk kepentingan masyarakat. Media massa harus menjalankan fungsi kontrolnya sambil memikirkan bagaimana caranya survive. Institusi media haruslah secara finansial cukup sehat.

Oleh karenanya, institusi media harus membuat produk yang layak secara komersial kalau ingin mendapatkan dukungan pasar. Bertahan hidup dalam sebuah ekonomi yang berorientasi pasar juga berarti memburu profit dan memenangkan persaingan. Rumusnya sederhana: ikutilah selera pasar sebaik-baiknya. Ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa kita lawan, sepanjang kita bersepakat menganut faham ekonomi yang liberal. Dan pasar media di Indonesia , terutama media cetak, adalah pasar yang dirasa paling liberal dan kompetitif.

Kompetisi Media Massa

Pada struktur dan kompetisi media massa, ada beberapa monopoli yang terjadi yakni monopoli homogen (homogenized monopolies) yang kurang kompetitif dan memberikan batasan atau ktiadaan pilihan akan produk bagi masyarakat dan monopoli beragam (diverse monopolies) yang menawarkan beberapa pilihan walaupun media tersebut hanya merupakan satu perusahaan yang sama.

Selain itu, juga terdapat kompetisi yang homogen (homogenized competition) yang hanya bertujuan untuk memperluas mainstream audiens tanpa memberikan rasa yang berbeda ( diversity of taste) pada Publio serta kompetisi yang beragam (diverse competition) yang biasanya menjadi pasar yang ideal (the market ideal) dimana sejumlah pemasar menawarkan produk yang lebih luas/banyak sehingga menberikan masyarakat desempatan untuk melakukan pilihan.

Annet Keller, seorang jurnalis asal Jerman, pada tahun 2004 melakukan penelitian terhadap beberapa media massa besar di Indonesia, yaitu Kompas, Tempo, dan Media Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, ia menyimpulkan bahwa media massa yang dinilai paling independen adalah surat kabar yang tidak memiliki saham mayoritas, media tersebut adalah Koran Tempo. Menurutnya, tingkat otonomi pemberitaan sangat besar pada koran Tempo, berbeda dengan Media Indonesia, dimana setiap jurnalisnya mnghadapi intervensi yang masif dari pemilik mengenai apa yang harus ditulis dalam media tersebut. Sementara menurutnya lagi, Kompas cenderung memberitakan sesuatu dengan sangat hati- hati, Kompas dapat terus menerus memberitakan sesuatu yang tengah hangat di masyarakat, namun ketika dinilai sudah terlalu berlebihan, Kompas akan mengambil sikap mundur dengan tidak lagi memberitakannya sehingga Annet menyebut Kompas sebagai media dengan “jurnalisme kepiting”.

Oleh karena makin maraknya persaingan dalam industri media, hendaknya para pemilik modal tidak melupakan fungsi utama media sebagai pemberi informasi pada masyarakat dengan tetap memegang norma- norma pers dan tanggung jawab sosialnya pada masyarakat sebagai pemberi kebenaran dan sarana edukasi. Kompetisi yang sehat juga diperlukan agar media di Indonesia dapat berkembang lebih optimal sebagai sarana kontrol sosial dan pengawas pemerintah di luar berbagai kepentingan pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan sebesar- besarnya.

Sabtu, 09 Januari 2010

Kartini dan Wajah Sendu Perempuan Indonesia

Tentunya kita nggak pernah lupa kan apa yang diperingati setiap tanggal 21 April? Yaph!!! Kartini’s day atau Hari Kartini. Dan siapa pula yang masih nggak tahu kalau tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan tanggal kelahiran pahlawan nasional yang gigih memperjuangkan harkat dan martabat perempuan indonesia atau istilahnya adalah emansipasi wanita. Lantas apa yang telah kita lakukan untuk memaknai dan menghargai jasa- jasa beliau? Mungkin ketika kalian duduk di bangku Taman Kanak- kanak atau Sekolah dasar, hal tersebut ditunjukan dengan berbagai bentuk perayaan, seperti berbagai macam lomba sampai karnaval pakaian daerah,masih ingat kan? Namun sebagai pelajar dengan status maha-nya siswa atau mahasiswa, tentunya kita memaknai Hari Kartini dengan cara yang berbeda, bukan lagi dengan kegiatan- kegiatan yang penuh dengan kesenangan seperti itu. Sebagai sseeorang yang telah duduk di bangku perguruan tinggi, sudah seharusnya kita ikut memikirkan nasib perempuan indonesia saat ini, karena kenyataan yang sebenarnya tidak semanis istilah emansipasi wanita yang telah digaung- gaungkan banyak orang. Tahukah kalian bahwa di negara kita ini, ratusan ribu lebih perempuan menjalani hidup yang jauh dari istilah “peningkatan harkat dan martabat”..? Apakah disebut emansipasi apabila saat ini masih banyak perempuan Indonesia yang menjadi pekerja kasar dengan upah yang amat sangat tidak masuk di akal, sama sekali tidak sebanding dengan tenaga yang telah mereka keluarkan. Apakah disebut emansipasi jika sekarang perdagangan wanita di negara ini sudah semakin merajalela, tanpa mengenal perikemanusiaan perempuan-perempuan indonesia dirayu, dijebak, lantas diperjualbelikan untuk kemudian dijadikan budak atau pekerja seks komersial di negeri orang. Tentu saja pihak- pihak yang bersangkutan meraup keuntungan yang sebesar- besarnya di atas penderitaan dan siksaan yang dialami perempuan- perempuan Indonesia. Lalu apakah disebut emansipasi dengan makin menjamurnya kasus tenaga kerja wanita kita di negara tetangga yang mengalami penyiksaan secara fisik dan mental, mulai dari tidak dibayarkannya gaji mereka, pelecehan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh majikannya, sampai pada bentuk- bentuk penganiayaan berat yang berujung pada kematian. Dan apakah disebut emansipasi jika jutaan perempuan di Indonesia mengalami berbagai bentuk kekerasan dan penganiayaan, khususnya dalam rumah tangga. Dengan segala kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari- hari kita saat ini, sudah sepatutnya lah kita ikut merenungkan nasib perempuan Indonesia. Walaupun kita harus berbesar hati pula bahwa saat ini sudah banyak wanita- wanita indonesia yang berprestasi dan sukses dalam kariernya sampai ke tingkat internasional. Namun mereka hanya segelintir, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah wanita yang belum menikmati emansipasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasinya jauh lebih banyak. Mungkin dengan meningkatkan sikap kritis kita pada Pemerimntah dan respon positif dari pemerintahnya pula, nasib wanita di Indonesia akan menjadi lebih baik. Alon- alon asal klakon.

kampus = majalah berjalan???

Beberapa waktu lalu saya terlibat sebuah perbincangan menarik (menurut saya) dengan salah seorang teman. Yang kami perbincangkan disitu awalnya hanya sekedar hal- hal sepele mengenai "dunia cewek" sampai kami membahas sebuah studi kasus yang (menurut saya dan dia) cukup menarik untuk dianalisis.

begini kasusnya:
sering kami temui dalam lingkungan sehari- hari cewek yang menurut kami selalu up to date, baik dalam hal fashion, buku, film terbaru, dan semua hal yang berkaitan dengan gaya hidup atau lifestyle. Dalam hal berpakaian aja misalnya, cewek- cewek ini senantiasa tampil gaya dimanapun dan dalam kondisi apa pun! hehehe.

Terdengar agak "berlebihan" memang, tapi saya dan beberapa teman saya yang lain sering memberikan komentar iseng kalau sekarang kampus sudah berubah jadi kayak mal atau kafe, dimana manusia2 yang lalu lalang di dalamnya begitu fashionable nya sekalipun cuma buat urusan "menuntut ilmu". Kampus sudah terasa seperti "majalah berjalan" dimana banyak sekali kaum hawa berpakaian dengan sebuah mainstream fashion yang sama yang bisa jadi mereka "pelajari" dari majalah.

Memang sih, urusan berpakaian adalah HAK asasi setiap orang, namun nggak jarang juga kami menemukan mahasiswa yang "kebablasan" dalam hal berbusana ke kampus. Kebablasan di sini adalah dalam arti pakaian- pakaian yang "agak" tidak layak digunakan untuk ke kampus tapi toh dipakai juga dengan segenap rasa percaya dirinya. yap! kampus sekarang sudah seperti sebuah ajang Fashion show,, hehehe..

Tapi bukan itu yang ingin saya analisis di sini. pertanyaan utama yang membuat saya "tergelitik" untuk menganalisisnya adalah benarkah cewek2 tersebut "biasanya" merupakan anggota sebuah "sisterhood" atau bahasa awamnya adalah "geng cewek". Karena seperti yang kita tahu, cewek itu adalah makhluk "kompetitif" terhadap sesama jenisnya. Maksudnya di sini adalah, seperti apa seorang cewek berbusana, berdandan dan berpenampilan biasanya sedikit banyak- entah dipengaruhi, dimotivasi atau diinspirasi- oleh teman- teman pergaulannya. menurut hasil pengamatan saya yang disetujui oleh beberapa teman saya pula, kebanyakan perempuan berdandan bukan untuk dilihat oleh lawan jenisnya (laki- laki), tapi cenderung lebihuntuk "bersaing" dengan teman sesama jenisnya. Dan menurut hasil pengamatan saya pula, cewek2 yang begitu fashionable nya dimanapun dan kapanpun tersebut melakukan suatu "persaingan" dengan teman- teman sesama geng nya entah itu disadari atau tidak disadari. Tapi selama persaingan itu sehat, menurut saya bukan menjadi suatu masalah besar. Yang menjadi masalah adalah bila masing- masing "diam-diam" sudah merasa iri satu sama lain dalam konteks yang tidak sehat. sehingga kalian pastinya tahu apa yang terjadi bila sekelompok cewek yang tergabung dalam satu kelompok (diam- diam) sudah merasa saling iri dan dengki.
jadi, kamu sekalian boleh setuju atau tidak setuju dengan hasil analisis saya ya... karena ini hanya sekedar analisis dari saya yang punya hobi mengamati. hehehehe..


-tulisan ini tidak bermaksud untuk menyindir seseorang atau kelompok tertentu, tapi berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai "fenomena" yang terjadi saat ini..- :)